Dr. Usman Supendi
Pendahuluan
Menu
utama dalam tiga artikel yang berisi cultur studies yang dibaca penulis adalah rasionalitas proyek
pencerahan (the Enlightenment Project),
arahnya jelas mengisahkan manusia-manusia yang berada dalam arus perputaran
postmodernisme. Artikel “If Women Actors Were Working” (Deborah Dean dan Campbell Jones);
bergeraknya wanita modern ke dalam
industri hiburan, yaitu televisi, film, dan komersialitas hiburan lainnya. Wanita
sebagai pekerja seni, dalam hal ini seni peran di layar kaca dan layar lebar, memberikan
kontribusi penting dalam industri hiburan. Wanita membangun paradigma kultur
feminis, analogi etos kerja, dan membangun kesatuan sistem sosial. Pada studi
media budaya, betapa pentingnya perang wanita sebagai aktor televisi dan film.
Wanita memiliki peran penting dalam ruang publik sebagai aktor, sebagai pekerja
di dunia perfilman dan pertelevisian.
Dalam “The Clustering of Creative Networks: Between
Myth and Real” (Bas van Heur); bahwa kreatif adalah hasil karya manusia,
sebab manusia makhluk yang berkreatifitas, manusia akan membuat kearifan
berbudaya. Manusia pun sebagai makhluk berbudaya akan menciptakan jaringan
produktivitas yang kompleks, dan akan lahir kelompok-kelompok seni dengan kata
lain akan lahir sebuah produk yang kompleks. Dalam estetika kontemporer itu
bukan hal yang asing, karena kecenderungan budaya perkotaan mengidealkan nilai
kreativitas yang muncul dari kelompok-kelompok kreatif yang membangun jaringan
dan ruang untuk publik. Walaupun nanti terjadi pengelompokan jaringan kreatif,
itu muncul secara mitos akibat dari akumulasi modal, budaya, inovasi dan
keadaan sosial yang menjadi sudut pandang kritik sosialnya. Tatapi berdasarkan
fakta, pergerakan jaringan kreatif telah membentuk tebaran estetika kontemporer
pada ruang public kebudayaan.
Artikel “Between Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika
Chawla). Ternyata ruang multikultural tidak serta merta seseorang langsung
baur, menjadi lebur pada kompleksitas kultur baru. Seperti dalam artikel ini,
eksistensi kultur tertentu mencuat dalam kekompleksitasan kultur postmodernism.
Digambarkan seorang gadis India, hidup dalam homogenitas budaya, hidup dalam
multikultur Amerika yang segala tatanannya sangat postmodernism, tetapi
genetika budaya India begitu kuat dalam tubuhnya. Ia masih memikirkan alur hidup, gender yang masih diukur dari kecantikan,
warna kulit, latar sosial. Bahkan bagian
terkecil pun yaitu warna kulit, menjadi bagian dikotomi budaya dan sosial.
Dirasakan atau tidak oleh wanita, pengaruh warna kulit akan berimbas pada sikap
feministis. Cara berbusana, merias wajah, bahkan memilih pendamping hidup.
Dalam pergaulan pun, warna kuliat akan menjadi identitas genetik budaya.
Bertolak ketiga artikel di atas yang berisikan tentang
cultural studies, terdapat kajian kritis
postmodern. Sebab penelitian kritis postmoder ditandai adanya krisis
representasi yang menolak gagasan bahwa kerja peneliti dianggap sebagai
gambaran “tujuan yang lain stabil”. Penelitian mereka bersinggungan dengan
postmodern, walau wilayah kerjanya ada di ruang etnografi kritis. Etnografi kritis adalah jenis refleksi yang
mempelajari budaya, pengetahuan, dan tindakan .Ahli etnografi kritis
mendeskripsikan, menganalisis, dan membuka untuk mengawasi agenda dibuat
tersembunyi.
Teori kritis
postmodernis menjelaskan keprihatinan itu sendiri dengan bentuk-bentuk wewenang
dan ketidakadilan yang menyertai evolusi kapitalisme industri dan perusahaan
sebagai sistem politik-ekonomi. Politik postmodern adalah teori kritis masalah
sosial dengan menempatkan mereka dalam konteks sejarah dan budaya, untuk
melibatkan diri dalam proses pengumpulan dan analisis data, dan untuk
merelatifkan temuan mereka (Sutrisno, 2006:88). Makna itu sendiri dipandang
tidak stabil karena perubahan yang cepat dalam struktur sosial dan sebagai
akibat fokus penelitian adalah berpusat pada manifestasi lokal daripada
generalisasi yang luas.
Postmodernisme dalam Bingkai Cultural Studies
1) Postmodernisme
Kebudayaan postmodern lahir
sebagai penyimpangan atas budaya modern, bisa dilihat dari artikel “The
Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas van Heur). Ia mendapatkan legitimasi dari kegagalan era modern
dalam menuntaskan proyek pencerahan.
Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat pencerahan ini dengan
keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah
yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan
tata pengetahuan dan sistem produksi yang keras dan jaringan kreatif yang
parsial saat ini, itu merupakan ujian besar dalam legimitasi dan pencarahan di
dalam bidang paradoks seni postmodernise. Bisa jadi dengan munculnya
pengelompokan jaringan seni, di mana manusia sebagai pelakunya menganggap
eksistensi kreatif itu ada karena lingkaran mitos dan realitas, dianggap menyebarnya
berbagai kelanjutan modernitas.
Dalam dunia postmodern
manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu mutlak. Maka untuk mengganti
mitos abad pencerahan yang mengagungkan rasio, maka postmodern mengganti
positifisme menjadi fesimime. Bisa dicermati dalam artikel “If Women Actors Were Working”
(Deborah Dean dan Campbell Jones). Iming-iming bahwa hidup
manusia semakin hari akan semakin baik, berangsur-angsur lenyap. Munculnya
sebuah “kesadaran postmodern” akan manusia yang individualistis, tidak akan
pernah sampai pada pencapaian tersebut, justru sebaliknya; manusia harus
bekerja sama dengan yang lain. Sehingga dengan demikian lahirlah, komunitas
sebagai dasar kebenaran. Kebenaran bukan lagi yang absolut, universal,
melainkan kebenaran menurut kelompok, atau komunitas tertentu. Dengan
demikian, kebenaran bukan lagi satu melainkan tergantung pada apa yang bisa
dipahami oleh setiap manusia.
Manusia postmodern adalah
manusia yang tak lagi percaya pada keobjektifan kebenaran rasio, melainkan
kebenaran yang relikatif dan personal. Rasio bukan lagi segalanya. Hal ini
dibuktikan dalam artikel “Between
Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla). Rasio
bukan segala-galanya dari kesimpulan, sebab sebuah pengalaman bahwasannya ada
saat dimana manusia tidak menemukan apa yang inginkannya dalam ratio.
2) Cultural Studies
Kecenderungan
baru dalam pemikiran—terutama di Barat—cultural studies belum dapat dikatakan
sebagai sebuah disiplin keilmuan yang telah mapan, melainkan sebuah ide yang
tengah berkembang (ideas in progress),
sebuah kecenderungan pemikiran yang masih dan terus mencari bentuknya. Pada
awal perkembangannya, cultural studies sangat dipengaruhi oleh kecenderungan
strukturalisme, baik dalam bahasa, semiotika, antropologi dan sosiologi.
Perkembangan postmodernisme sebagai sebuah kecenderungan baru pemikiran
mempengaruhi cultural studies pada tahap lanjutnya, yang menciptakan apa yang
disebut sebagai Cultural Studies Postmodern.
Sebagai
sebuah ide yang terus berkembang, cultural studies mempunyai sejarah yang
panjang, dengan berbagai pengaruh eksternal terhadapnya. Setidak-tidaknya ada
dua semangat zaman (zeitgeist) yang membangun cultural studies sebagai sebuah
kecenderungan pemikiran: modernisme dan postmodernisme. Pada fase cultural
studies modern, telah diangkat berbagai isu sentral: isu tentang budaya
populer, budaya massa, industrialisasi, kebudayaan dan industri, media massa,
komodifikasi, struktur budaya, kode budaya, ideologi, subjek, hegemoni,
struktur
kelas, demokrasi dan kelas, resistensi, subversi dan perlawanan.
kelas, demokrasi dan kelas, resistensi, subversi dan perlawanan.
Telaah
dalam artikel “If Women Actors Were Working”
(Deborah Dean dan Campbell Jones), berkaitan dengan perempuan bergerak
di bidang industri hiburan, yaitu menjadi aktor atau pelaku seni di televisi
dan film. Hal ini sangat menarik untuk penjadi pokok persoalan dalam studi
budaya, sebab magnit paling besar dalam dunia pertelevisian dan perfilman
adalah wanita. Pada fase cultural studies postmodern, isu-isu yang diangkat
bergeser ke arah berbagai isu yang menjadi subject
matter gerakan postmodernisme sendiri: isu-isu tentang genesis, perubahan,
produktivitas tanda, permainan bebas tanda, permainan bebas interpretasi,
relativitas pengetahuan, mesin hasrat (desiring machine), ketaksadaran, ekonomi
libido, heterogenitas, skizofrenia, nomadisme, simulasi, hiper-realitas, relasi
pengetahuan dan kekuasaan (genealogi), teori wacana (discourse), pengetahuan
lokal, etnisitas. Pernyataan
tersebut tercermin dari artikel “Between
Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla).
Pada fase modern, cultural
studies dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan pemikiran yang beragam: pada
awalnya oleh kelompok pemikir kulturalis (Arnold, Richard, Leavis, Hoggart,
William, Thompson), oleh para pemikir sosiologis (Weber, Berger & Luckman,
Schutz), oleh para pendukung Marxis Barat (Althusser, Adorno, Benjamin,
Gramsci), kemudian oleh para pemikir strukturalis (deSaussure, Barthes,
Levi-Strauss,). Selanjutnya, pada fase postmodern, cultural studies dipengaruhi
oleh para pemikir post-strukturalis (Derrida, Barthes, Kristeva) dan
postmodernis (Foucault, Deleuze, Guattari, Lyotard dan Baudrillard).
Dapat dilihat di sini, bahwa cultural studies
bukanlah sebuah kesatuan disiplin yang utuh dan mapan. cultural studies adalah
kecenderungan cara berpikir, model analisis, atau model pemahaman, yang
berkembang dengan mengkombinasikan berbagai teori dan metode-metode yang telah
ada atau sedang berkembang, sehingga bersifat
sangat dinamis, terus begerak dan terus menjadi (becoming). Sebagai
sebuah pendekatan, cultural studies merekombinasikan secara eklektik dan
bricolage berbagai pendekatan dan metode analisis yang telah ada, seperti teori
budaya, kritik budaya, teori kritis, teori ideologi, teori subjek, antropologi,
etnometodologi, semiotika, psikoanalisis, analisis teks, analisis wacana,
dekonstruksi, skizoanalisis, dan genealogi.
Pembahasan
Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi
sekaligus dikonsumsisecara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya
massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Seperti yang telihat dari
artikel “The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas
van Heur) dan “If Women Actors Were Working” (Deborah Dean dan Campbell Jones). Budaya massa ini adalah sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional,
dimana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak
terikat atau tergantung pada media massa.
Budaya tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari
interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika, sangat mengagungkan kesusatraan
dan tradisi keilmuan.Sedangkan pada budaya massa, sebagai kritik atas budaya
tradisional, merujuk kepada proses pluralisme dan demokrasi yang kental,
berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya
modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan
egalitarianisme. Namun secara negatif, budaya massa juga banyak diartikan sebagai
perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika,
mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda,
mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk
pasar. Dengan kata lain dalam budaya massa,orientasi produk adalah trend atau
mode yang sedang diminati pasar. Kesamaan atau keseragaman model dan etos
adalah corak terpenting dalam kebudayaan massa. Dalam hal ini perilaku yang muncul adalah proses imitasi dan peniruan, dimana proses ini adalahhasil
dari kecenderungan manusia untuk melakukan imitasi atas nilai dan bentuk-bentuk
yang dipercaya atau dirasakan mempunyai kecocokan. Namun, pada konteks budaya
massa, peniruan yang mengarah pada keseragaman ini dibentuk secara terperinci
dan sistematis oleh sebuahotoritas politik ekonomi, yang di implementasikan
oleh kekuatan komunikasi massa dengan institusi medianya serta kepentingan
ekonomis dan ideologis orang-orang yang berada didalamnya.
Dalam artikel “The Clustering of Creative Networks:
Between Myth and Real” (Bas van Heur) pembentukan
pengelompokan jaringan kreatif merupakan fenomena budaya massa, komunikasi massa dan segala institusi yang memiliki peranan sangat signifikan dan
efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku secara
massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Melihat kenyataan
bagaimana komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media massa mengarahkan
dan membentuk perilaku khalayak dan menjadikan khalayak sebagai pasar dari
produk yang mereka ciptakan, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan aspek
ekonomis dari pemilik media massa ataupun kekuatan lain yang secara politis
menarik keuntungan dari haltersebut
Simpulan
Penelitian
dalam artikel “If Women Actors Were
Working” (Deborah Dean dan Campbell
Jones) dan “Between Solids/Monologues in
Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla); bertujuan memperoleh suatu pandangan terhadap citra perempuan dalam
budaya massa,
melalui sudut pandang postmodernisme. Berdasar pandangan tersebut
dilakukan suatu refleksi filosofis, serta analisis kritis terhadap citra
perempuan tersebut, sehingga diperoleh bahan koreksi serta referensi teoritikal
terhadap citra perempuan dewasa ini. Penelitian ini menggunakan analisis data
dengan metode hermeneutika filosofis. Tahap pertama penelitian ini adalah
menginventarisasi data empiris berupa bahan-bahan kepustakaan maupun
artikel-artikel tentang perempuan, budaya massa dan berbagai pemikiran tentang
postmodernisme. Sementara itu pada tahap kedua, dilakukan analisis data dengan
melakukan refleksi filosofis terhadap citra perempuan dalam budaya massa
melalui sudut tinjauan postmodernisme. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian sebagai berikut : Pertama,
perempuan dalam budaya massa digambarkan sesuai aspek ketubuhan yang dimiliki
yaitu cantik, seksi, berani, menawan dan menantang. Pada lain pihak perempuan
dicitrakan sebagai sosok irrasional, pasif, lemah dan tak berdaya. Kedua,
kritik Postmodernisme terhadap citra perempuan dalam budaya massa adalah bahwa
citra perempuan semata-mata ditentukan oleh laki-laki dan dinilai dengan
berperspektif laki-laki. Wacana perempuan dalam budaya massa merupakan grand theory hasil konstruksi laki-laki,
oleh karena itu harus dikritisi dievaluasi bahkan didekostruksi. Ketiga, kritik
yang diajukan Postmodernisme terhadap citra perempuan dalam budaya massa
merupakan referensi teoritis yang dapat digunakan untuk merefleksikan citra
perempuan Indonesia dewasa ini.
Dari sudut pandang konsep kreativitas, artikel “The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas
van Heur) sebagai kelompok jaringan
kreativitas
kontemporer dimengerti sebagai kounitas
“baru” yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru. Paham mengenai
pengelompokan jaringan kreatiitas, tidak lagi terbingkai pada sesuatu mitos
belaka, melainkan sebuah realita perkembangan pada gagasan yang menampilkan
proses eksplorasi kekreativan kelopok jaringan sebagai medium ekspresi yang tak
terbatas agar dapat mewadahi gagasannya. Dengan konsep ini akan memberikan
kebebasan kepada kreator untuk berintepretasi berdasarkan pengalaman batinnya
masing-masing.
Daftar Pustaka
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampau
Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Sarup, Madan. 2003. Post-structuralism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis.
Yogyakarta: Jendela.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Waana.
Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Sugiharto, I. Bambang. 1999. Postmoderisme Tantangan bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2006. Cultural Studies Tantangan Bag Teori-Teori Besar Kebudayaan.
Yogyakarta: Jalasutra.