Minggu, 15 September 2019

POSTMODERNISM: THE ENLIGHTENMENT PROJECT

Oleh
Dr. Usman Supendi

Pendahuluan
            Menu utama dalam tiga artikel yang berisi cultur studies  yang dibaca penulis adalah rasionalitas proyek pencerahan (the Enlightenment Project), arahnya jelas mengisahkan manusia-manusia yang berada dalam arus perputaran postmodernisme.  Artikel “If Women Actors Were Working  (Deborah Dean dan Campbell Jones); bergeraknya wanita  modern ke dalam industri hiburan, yaitu televisi, film, dan komersialitas hiburan lainnya. Wanita sebagai pekerja seni, dalam hal ini seni peran di layar kaca dan layar lebar, memberikan kontribusi penting dalam industri hiburan. Wanita membangun paradigma kultur feminis, analogi etos kerja, dan membangun kesatuan sistem sosial. Pada studi media budaya, betapa pentingnya perang wanita sebagai aktor televisi dan film. Wanita memiliki peran penting dalam ruang publik sebagai aktor, sebagai pekerja di dunia perfilman  dan pertelevisian.
Dalam “The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas van Heur); bahwa kreatif adalah hasil karya manusia, sebab manusia makhluk yang berkreatifitas, manusia akan membuat kearifan berbudaya. Manusia pun sebagai makhluk berbudaya akan menciptakan jaringan produktivitas yang kompleks, dan akan lahir kelompok-kelompok seni dengan kata lain akan lahir sebuah produk yang kompleks. Dalam estetika kontemporer itu bukan hal yang asing, karena kecenderungan budaya perkotaan mengidealkan nilai kreativitas yang muncul dari kelompok-kelompok kreatif yang membangun jaringan dan ruang untuk publik. Walaupun nanti terjadi pengelompokan jaringan kreatif, itu muncul secara mitos akibat dari akumulasi modal, budaya, inovasi dan keadaan sosial yang menjadi sudut pandang kritik sosialnya. Tatapi berdasarkan fakta, pergerakan jaringan kreatif telah membentuk tebaran estetika kontemporer pada ruang public kebudayaan.
Artikel “Between Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla). Ternyata ruang multikultural tidak serta merta seseorang langsung baur, menjadi lebur pada kompleksitas kultur baru. Seperti dalam artikel ini, eksistensi kultur tertentu mencuat dalam kekompleksitasan kultur postmodernism. Digambarkan seorang gadis India, hidup dalam homogenitas budaya, hidup dalam multikultur Amerika yang segala tatanannya sangat postmodernism, tetapi genetika budaya India begitu kuat dalam tubuhnya. Ia masih memikirkan alur hidup,  gender yang masih diukur dari kecantikan, warna kulit, latar sosial. Bahkan  bagian terkecil pun yaitu warna kulit, menjadi bagian dikotomi budaya dan sosial. Dirasakan atau tidak oleh wanita, pengaruh warna kulit akan berimbas pada sikap feministis. Cara berbusana, merias wajah, bahkan memilih pendamping hidup. Dalam pergaulan pun, warna kuliat akan menjadi identitas genetik budaya.
Bertolak  ketiga artikel di atas yang berisikan tentang cultural studies, terdapat kajian  kritis postmodern. Sebab penelitian kritis postmoder ditandai adanya krisis representasi  yang menolak gagasan bahwa kerja peneliti dianggap sebagai gambaran “tujuan yang lain stabil”. Penelitian mereka bersinggungan dengan postmodern, walau wilayah kerjanya ada di ruang etnografi kritis.  Etnografi kritis adalah jenis refleksi yang mempelajari budaya, pengetahuan, dan tindakan .Ahli etnografi  kritis mendeskripsikan, menganalisis, dan membuka untuk mengawasi agenda dibuat tersembunyi.
Teori kritis postmodernis menjelaskan keprihatinan itu sendiri dengan bentuk-bentuk wewenang dan ketidakadilan yang menyertai evolusi kapitalisme industri dan perusahaan sebagai sistem politik-ekonomi. Politik postmodern adalah teori kritis masalah sosial dengan menempatkan mereka dalam konteks sejarah dan budaya, untuk melibatkan diri dalam proses pengumpulan dan analisis data, dan untuk merelatifkan temuan mereka (Sutrisno, 2006:88). Makna itu sendiri dipandang tidak stabil karena perubahan yang cepat dalam struktur sosial dan sebagai akibat fokus penelitian adalah berpusat pada manifestasi lokal daripada generalisasi yang luas.

Postmodernisme dalam Bingkai Cultural Studies
1) Postmodernisme
Kebudayaan postmodern lahir sebagai penyimpangan atas budaya modern, bisa dilihat dari artikel The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas van Heur). Ia mendapatkan legitimasi dari kegagalan era modern dalam menuntaskan proyek pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan  sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan sistem produksi yang keras dan jaringan kreatif yang parsial  saat ini, itu merupakan  ujian besar dalam legimitasi dan pencarahan di dalam bidang paradoks seni postmodernise. Bisa jadi dengan munculnya pengelompokan jaringan seni, di mana manusia sebagai pelakunya menganggap eksistensi kreatif itu ada karena lingkaran mitos dan realitas, dianggap menyebarnya berbagai kelanjutan modernitas.
Dalam dunia postmodern manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu mutlak. Maka untuk mengganti mitos abad pencerahan yang mengagungkan rasio, maka postmodern mengganti positifisme menjadi fesimime. Bisa dicermati dalam artikel  If Women Actors Were Working  (Deborah Dean dan Campbell Jones). Iming-iming bahwa hidup manusia semakin hari akan semakin baik, berangsur-angsur lenyap. Munculnya sebuah “kesadaran postmodern” akan manusia yang individualistis, tidak akan pernah sampai pada pencapaian tersebut, justru sebaliknya; manusia harus bekerja sama dengan yang lain. Sehingga dengan demikian lahirlah, komunitas sebagai dasar kebenaran. Kebenaran bukan lagi yang absolut, universal, melainkan kebenaran menurut kelompok, atau komunitas tertentu. Dengan demikian, kebenaran bukan lagi satu melainkan tergantung pada apa yang bisa dipahami oleh setiap manusia.
Manusia postmodern adalah manusia yang tak lagi percaya pada keobjektifan kebenaran rasio, melainkan kebenaran yang relikatif dan personal. Rasio bukan lagi segalanya. Hal ini dibuktikan dalam  artikel “Between Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla). Rasio bukan segala-galanya dari kesimpulan, sebab sebuah pengalaman bahwasannya ada saat dimana manusia tidak menemukan apa yang inginkannya dalam ratio.

2) Cultural Studies
Kecenderungan baru dalam pemikiran—terutama di Barat—cultural studies belum dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin keilmuan yang telah mapan, melainkan sebuah ide yang tengah berkembang (ideas in progress), sebuah kecenderungan pemikiran yang masih dan terus mencari bentuknya. Pada awal perkembangannya, cultural studies sangat dipengaruhi oleh kecenderungan strukturalisme, baik dalam bahasa, semiotika, antropologi dan sosiologi. Perkembangan postmodernisme sebagai sebuah kecenderungan baru pemikiran mempengaruhi cultural studies pada tahap lanjutnya, yang menciptakan apa yang disebut sebagai Cultural Studies Postmodern.
Sebagai sebuah ide yang terus berkembang, cultural studies mempunyai sejarah yang panjang, dengan berbagai pengaruh eksternal terhadapnya. Setidak-tidaknya ada dua semangat zaman (zeitgeist) yang membangun cultural studies sebagai sebuah kecenderungan pemikiran: modernisme dan postmodernisme. Pada fase cultural studies modern, telah diangkat berbagai isu sentral: isu tentang budaya populer, budaya massa, industrialisasi, kebudayaan dan industri, media massa, komodifikasi, struktur budaya, kode budaya, ideologi, subjek, hegemoni, struktur
kelas, demokrasi dan kelas, resistensi, subversi dan perlawanan.
Telaah dalam artikel  If Women Actors Were Working  (Deborah Dean dan Campbell Jones), berkaitan dengan perempuan bergerak di bidang industri hiburan, yaitu menjadi aktor atau pelaku seni di televisi dan film. Hal ini sangat menarik untuk penjadi pokok persoalan dalam studi budaya, sebab magnit paling besar dalam dunia pertelevisian dan perfilman adalah wanita. Pada fase cultural studies postmodern, isu-isu yang diangkat bergeser ke arah berbagai isu yang menjadi subject matter gerakan postmodernisme sendiri: isu-isu tentang genesis, perubahan, produktivitas tanda, permainan bebas tanda, permainan bebas interpretasi, relativitas pengetahuan, mesin hasrat (desiring machine), ketaksadaran, ekonomi libido, heterogenitas, skizofrenia, nomadisme, simulasi, hiper-realitas, relasi pengetahuan dan kekuasaan (genealogi), teori wacana (discourse), pengetahuan lokal, etnisitas. Pernyataan tersebut tercermin dari artikel “Between Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla).
Pada fase modern, cultural studies dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan pemikiran yang beragam: pada awalnya oleh kelompok pemikir kulturalis (Arnold, Richard, Leavis, Hoggart, William, Thompson), oleh para pemikir sosiologis (Weber, Berger & Luckman, Schutz), oleh para pendukung Marxis Barat (Althusser, Adorno, Benjamin, Gramsci), kemudian oleh para pemikir strukturalis (deSaussure, Barthes, Levi-Strauss,). Selanjutnya, pada fase postmodern, cultural studies dipengaruhi oleh para pemikir post-strukturalis (Derrida, Barthes, Kristeva) dan postmodernis (Foucault, Deleuze, Guattari, Lyotard dan Baudrillard).
Dapat dilihat di sini, bahwa cultural studies bukanlah sebuah kesatuan disiplin yang utuh dan mapan. cultural studies adalah kecenderungan cara berpikir, model analisis, atau model pemahaman, yang berkembang dengan mengkombinasikan berbagai teori dan metode-metode yang telah ada atau sedang berkembang, sehingga bersifat  sangat dinamis, terus begerak dan terus menjadi (becoming). Sebagai sebuah pendekatan, cultural studies merekombinasikan secara eklektik dan bricolage berbagai pendekatan dan metode analisis yang telah ada, seperti teori budaya, kritik budaya, teori kritis, teori ideologi, teori subjek, antropologi, etnometodologi, semiotika, psikoanalisis, analisis teks, analisis wacana, dekonstruksi, skizoanalisis, dan genealogi.

Pembahasan
Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsisecara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Seperti yang telihat dari artikel The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas van Heur) dan If Women Actors Were Working  (Deborah Dean dan Campbell Jones).  Budaya massa ini adalah sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa. Budaya tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika, sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan.Sedangkan pada budaya massa, sebagai kritik atas budaya tradisional, merujuk kepada proses pluralisme dan demokrasi yang kental, berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan egalitarianisme. Namun secara negatif, budaya massa juga banyak diartikan sebagai perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika, mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda, mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk pasar. Dengan kata lain dalam budaya massa,orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar. Kesamaan atau keseragaman model dan etos adalah corak terpenting dalam kebudayaan massa. Dalam hal ini perilaku yang muncul adalah proses imitasi dan peniruan, dimana proses ini adalahhasil dari kecenderungan manusia untuk melakukan imitasi atas nilai dan bentuk-bentuk yang dipercaya atau dirasakan mempunyai kecocokan. Namun, pada konteks budaya massa, peniruan yang mengarah pada keseragaman ini dibentuk secara terperinci dan sistematis oleh sebuahotoritas politik ekonomi, yang di implementasikan oleh kekuatan komunikasi massa dengan institusi medianya serta kepentingan ekonomis dan ideologis orang-orang yang berada didalamnya.
Dalam artikel The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas van Heur) pembentukan pengelompokan jaringan kreatif merupakan fenomena budaya massa, komunikasi massa dan segala institusi yang  memiliki peranan sangat signifikan dan efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku secara massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Melihat kenyataan bagaimana komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media massa mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak dan menjadikan khalayak sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan aspek ekonomis dari pemilik media massa ataupun kekuatan lain yang secara politis menarik  keuntungan dari haltersebut


Simpulan
Penelitian dalam artikel  If Women Actors Were Working  (Deborah Dean dan Campbell Jones) dan “Between Solids/Monologues in Brown: A Mystory Performance.” (Devika Chawla); bertujuan memperoleh suatu pandangan terhadap citra perempuan dalam budaya massa, melalui sudut pandang postmodernisme. Berdasar pandangan tersebut dilakukan suatu refleksi filosofis, serta analisis kritis terhadap citra perempuan tersebut, sehingga diperoleh bahan koreksi serta referensi teoritikal terhadap citra perempuan dewasa ini. Penelitian ini menggunakan analisis data dengan metode hermeneutika filosofis. Tahap pertama penelitian ini adalah menginventarisasi data empiris berupa bahan-bahan kepustakaan maupun artikel-artikel tentang perempuan, budaya massa dan berbagai pemikiran tentang postmodernisme. Sementara itu pada tahap kedua, dilakukan analisis data dengan melakukan refleksi filosofis terhadap citra perempuan dalam budaya massa melalui sudut tinjauan postmodernisme. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian sebagai berikut : Pertama, perempuan dalam budaya massa digambarkan sesuai aspek ketubuhan yang dimiliki yaitu cantik, seksi, berani, menawan dan menantang. Pada lain pihak perempuan dicitrakan sebagai sosok irrasional, pasif, lemah dan tak berdaya. Kedua, kritik Postmodernisme terhadap citra perempuan dalam budaya massa adalah bahwa citra perempuan semata-mata ditentukan oleh laki-laki dan dinilai dengan berperspektif laki-laki. Wacana perempuan dalam budaya massa merupakan grand theory hasil konstruksi laki-laki, oleh karena itu harus dikritisi dievaluasi bahkan didekostruksi. Ketiga, kritik yang diajukan Postmodernisme terhadap citra perempuan dalam budaya massa merupakan referensi teoritis yang dapat digunakan untuk merefleksikan citra perempuan Indonesia dewasa ini.
Dari sudut pandang konsep kreativitas, artikel “The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Real” (Bas van Heur) sebagai kelompok jaringan kreativitas kontemporer dimengerti sebagai kounitas  “baru” yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru. Paham mengenai pengelompokan jaringan kreatiitas, tidak lagi terbingkai pada sesuatu mitos belaka, melainkan sebuah realita perkembangan pada gagasan yang menampilkan proses eksplorasi kekreativan kelopok jaringan sebagai medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi gagasannya. Dengan konsep ini akan memberikan kebebasan kepada kreator untuk berintepretasi berdasarkan pengalaman batinnya masing-masing.















Daftar Pustaka

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampau Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Sarup, Madan. 2003. Post-structuralism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Waana.
Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Sugiharto, I. Bambang. 1999. Postmoderisme Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2006. Cultural Studies Tantangan Bag Teori-Teori Besar Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTMODERNISM: THE ENLIGHTENMENT PROJECT

Oleh Dr. Usman Supendi Pendahuluan             Menu utama dalam tiga artikel yang berisi cultur studies   yang dibaca penulis adalah...