Dr. Usman Supendi. M.Pd.
PENDIDIKAN anak usia dini di kota-kota besar bagaikan cendawan di musim hujan, menjamur di
mana-mana. PAUD atau TK berdiri
bermunculan dari fasilitas pas-pasan, hanya menggunakan ruangan kosong saja,
hingga bangunan sekolah yang supermegah dengan biaya hampir menyamai masuk
perguruan tinggi. Bagi masyarakat perkotaan PAUD atau TK bukan sekadar lembaga
edukatif, tetapi menjadi simbol kekayaan, kemakmuran, dan prestise bagi ayah
bundanya. Orang tua dari kalangan menengah ke atas memasukan anak-anaknya ke
PAUD atau TK favorit dengan fasilitas
lengkap, kelas yang luas, alat bermainnya termodern, dan pulang serta datang
diantar jemput. Bahkan mereka memasukan anaknya dari usia dua atau tiga tahun ke day care, untuk membantu anaknya dalam
urusan bermain serta pengasuhan. Ciri-ciri PAUD atau TK favorit terlihat ketika
jam pulang, halaman sekolah yang luas dipadati oleh mobil-mobil mewah,
lalu-lalang sopir-sopir necis, dan kesibukan satpam serta tukang parkir.
Berbanding terbalik dengan PAUD atau TK di desa-desa,
begitu jam pulang tiba hanya diwarnai raungan motor atau canda tawa ibu-ibunya yang
menjemput anak-anaknya pulang. PAUD di desa lebih banyak tumbuh dari tangan
para kader Posyandu, mereka membina balita dari urusan gizi hingga tempatnya
bermain dan belajar. Dari Posyandu kemudian muncullah Pos PAUD, sekolahnya dari
hari Senin sampai Kamis. Ibu-ibu di desa belum begitu paham pentingnya PAUD,
mereka menyekolahkan anak sekadar mengikuti instruksi para kader penggerak
Posyandu. Para kader mewajibkan menyekolahkan anak balita ke PAUD, maka
berbondong-bondong anak-anakanya dimasukan ke PAUD. Biasanya anak-anak bermain
di halaman rumah beralih bermain di halaman sekolah, main ayunan, prosotan,
atau main petak umpet. Masalahnya, apakah mereka sudah disentuh dengan
kurukulum 2013 untuk PAUD yang sesuai dengan Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan
(STPP)?
Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan PAUD dalam
kurikulum 2013 ini dimulai dengan
nilai-nilai agama dan moral. Nilai agama dan moral yang harus diberikan kepada
anak usia dini melalui pembelajaran berdoa, belajar beribadah, menghormati
agama orang lain, dan tolong menolong sesama umat beragama. Nilai-nilai ini
harus ditanamkan sejak usia dini supaya membentuk karakter anak yang baik dan
menjadi pembiasaan dalam hidupnya. Pembiasaan mengucapkan doa, beribahat, dan
toleransi antar sesama umat beragama.
Pencapaian pembelajaran yang berorientasi pada Fisik -
motorik anak usia dini harus diprioritaskan,
sebab anak usia dini masih belajar menggunakan anggota tubuhnya untuk
keseimbangan gerak tubuh serta
memfungsikannya. Motorik halus dan motorik kasar pada anak usia dini harus
dilatih agar lebih baik dan terarah. Misalnya melatih motorik halus dengan
menggambar, mewarnai, melipat, mengosok gigi, menjumput, kolase, mozaik,
puzzle, meronce atau menempel. Motorik kasar dilatih dengan senam, menari,
melompat atau meloncat, dan olah raga. Tentu saja perkembangan motorik halus
dan kasar antara anak usia dini yang tinggal desa dan yang tinggal di kota akan
berbeda. Anak-anak yang tumbuh di desa-desa sudah terbiasa dengan memanjat,
meloncat, dan molompat.
Pencapaian kemampuan kognitif anak usia dini pun harus
dilatih, agar mereka mampu memecahkan masalah, berpikiran tentang kehidup
mereka sehari-hari, mampu mengenal bilangan supaya bisa berhitung, mampu
mengenal huruf supaya bisa menulis namanya sendiri, dan mengenal bangun geometri agar memiliki
kesadaran ruang. Selain itu anak usia dini pun harus mampu menguasai bahasa
sebagai alat komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi antar mereka;
menyampaikan perasaan, gagasan sederhana, diskusi sederhana, mampu berkomunikasi
dengan keluarganya, guru-gurunya, dan masyarakat sekitarnyaa. Perolehan bahasa
anak usia dini biasanya melalui npembelajaran bercerita, mendongeng, komunikasi secara lisan
antara teman dan gurunnya, serta belajar menceritakan kembali apa-apa yang
didengarnya atau dipelajarinya setelah belajar sambil bermain yang edukatif.
Pencapaian sosial dan emosional anak usia dini
merupakan tujuan kurikulum PAUD, agar anak memiliki kesadaran diri, rasa
tanggung jawab untuk dirinya sendiri dan orang lain, dan memiliki perilaku
prososioal. Kesadaran diri yang dimaksud
yaitu anak usia dini harus memperlihatkan kemampuan dirinya, mengenal perasaa
sendiri dan mengendalikan perasaannya, serta mampu menyesuaikan diri dengan
orang lain serta lingkungannya. Anak usia dini wajib memiliki rasa tanggung jawab
untuk dirinya sendiri dan orang lain. Anak usia dini harus mengetahui
hak-haknya, mentaati peraturan, mengatur diri sendiri, serta bertanggung jawab
atas perilaku untuk kebaikan sesama. Pembelajaran
perilaku prososial pada anak usia dini bertujuan agar anak mempu bermain dengan
sebayanya, memahami perasaan, merespon, berbagi, serta menghargai hak dan
pendapat orang lain. Dalam pembelajaran ini anak dituntut memiliki sikap
toleransi dan berperilaku sopan.
Pencaiaan terakhir dalam kurikulum 2013, yaitu pembelajaran
seni. Anak usia dini harus memiliki perasaan indah dan keindahan, agar memiliki
karakter halus dan berbudaya. Anak usia dini sedcara sederhana harus mampu bermain
musik, sosiodrama, melukis, menari, dan menggambar.
Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal
Tiga tahun yang lewat di Universal Hotel Lembang,
seorang ahli PAUD dari New Zeland mengkritik kurikulum PAUD di Indonesia,
mestinya kurikulum PAUD di Indonesia lebih berpihak kepada kearifan lokal
Indonesia. Diskusi itu diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidian dengan tujuan untuk memperkaya kurikulum dan pembelajaranya di
PAUD. Dua orang ahli PAUD dari New Zeland itu bercerita, bahwa di negaranya
kurikulum itu benar-benar harus berbasis kearifan lokal, salah satunya kearifan
masyarakat tani. Guru-guru PAUD memperkenalkan cara-cara bertani apel; menanam,
memelihara, dan mengolah apel dengan cara sederhana atau sesuai dengan
perekembangan anak usia dini. Guru-giru PAUD menjadikan anak uisa dini sebagai little farmer. New Zeland benar-benar
harus memiliki penerus petani apel, sebab negaranya banyak diuntungkan oleh apel. Apel New Zeland bisa menguasai dunia,
sehingga apel bisa dijadikan sumber devisa negara, dan itu harus
berkesinambungan. Anak usia dini dibentuk karakternya agar memiliki mental
petani, paling tidak harus bercita-cita menjadi petani.
Kenyataan itu berbanding terbalik dengan anak usia
dini di Indoneisa, dari Sabang sampai Merauke bisa dihitung dengan jari anak
usia dini bercita-cita jadi petani. Ketika mereka ditanya apa cita-citanya, jarang yang
bercita-cita petani. Ketika mereka disuruh
menempelkan gambar di pohon harapan, mereka akan menempel gambar polisi,
dokter, presiden, pilot, tentara, dan guru. Gambar petani sedang membawa
cangkul jarang diambilnya, mungkin hanya satu dua orang saja. Padahal negara
kita negara agraris, nenek moyangnya selain seorang pelaut, tentu saja seorang
petani. Melihat kenyataan tersebut tentu saja ada yang salah dalam penerapan
kurikulum PAUD atau cara mengembangkan kurikulum PAUD, sebab kurikulum PAUD
yang sekarang diberlakukan sangat ideal. Tema pembelajaran dalam kurikulum 2013
di PAUD, yaitu diriku, keluargaku, lingkunganku, binatang, tanaman, kendaraan,
alam semesta, dan negaraku. Tema-tema
tersebut tentu saja sudah sangat ideal untuk dijadikan pembelajaran berbasis
kearifan lokal. Misalnya tema lingkungan, binatang, tanaman, dan alam semesta,
kenapa dalam pembelajaran saintifiknya tidak berbasis kearifan lokal? Dalam
pembelajarannya tidak mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia atau mengangkat
nilai-nilai tradisional?
Prof. Yus Rusyana ahli budaya Sunda yang juga pengajar
Bahasa Daerah AUD di PG PAUD Uninus selalu mengajari calon guru PAUD untuk
memanfaatkan kurikulum PAUD sebagai senjata untuk mengembangkan kearifan lokal.
Tema lingkungku, binatang, tanaman dan alam semesta dimanfaatkan untuk
memperkenalkan kesuburan dan keindahan alam Jawa Barat, dengan cara mengajak
anak usia dini outbond di sawah. Anak usia dini
dalam pembelajaran origami, menurut Prof. Yus sebaiknya origami kepada
kebiasaan orangtuanya membuat ketupat, lontong, mincuk makanan, membuat bangun geometri kerucut untuk menutup nasi
tumpeng dari daun pisang, dan membuat nasi timbel dari daun pisang. Pembelajaran seperti itu pun akan
meningkatkan motorik halus anak usia dini. Misalnya tema tanamanku, subtema mengenal tanaman cincau, anak-anak
diajak memeras cincau atau membuat cincau.
Selain memperkenalkan tanaman cincau, anak-anak pun belajar motorik
halus sebab harus meremas daun dan memerasnya. Selama proses pembelajaran,
anak-anak diajak mendengarkan cerita tentang daun cincau, cara menanamnya, cara
merawatnya, dan manfaatnya.
Memang tidak ada porsi khusus kurikulum muatan lokal,
tetapi guru PAUD harus pintar-pintar mengembangkan kurikulum yang ada dan
sangat idel tersebut. Kurikulum PAUD sangat berbasis saitifik, sedangkan
kearifan lokal sangat saintifik untuk anak usia dini. Seperti membuat cincau
itu sangat saintifik, sebab bagaimana mengolah daun menjadi cair, dari cairan, lantas
diolah menjadi benda padat.
Banyak memang kearifan lokal yang bisa dikembangkan
oleh guru-guru PAUD dengan tujuan tidak menjadikan anak usia dini menjadi
pengrajin, tetapi hanya memperkenalkan saja bentuk-bentuk kearifan lokal
leluhurnya. Sebab tujuan utamanya dalam kurikulum PAUD tetap pada ketuhanan,
fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni. Misalnya
memperkenalkan makanan combro pada anak usia dini, guru tidak perlu membawa
parutankarena berbahaya, cukup membawa ketela pohon yang sudah diparut. Temanya
tanaman, subtema ketela pohon atau singkong. Pada pembelajaran ini fisik
motoriknya yaitu motorik halus; memeras parutan ketela pohon agar kanji atau
aci terpisah dari singkong, membetuk bola dari singkong, dan belajar menyadari
ruang di dalam bulatan singkong. Kognitifnya, anak-anak mengetahui bahwa aci
atau kanji itu salah satunya dari singkong, dan ubi jalar itu bahan dari
makanan bernama combro yang selalu dimakan oleh mereka. Mereka pun berjar bersosial;
kebersamaan, saling membatu atau gotong royong. Setelah belajar membuat combro,
diharapkan anak usia dini tidak terampil membuat combro tetapi hanya mengenal saja. Hasil dari
pembelajaran itu diharapkan beberapa tahun ke depan setalah anak usia dini
masuk ke SMA atau perguruan tinggi. Biasanya
di PAUD perkotaan pembelajaran ini sering dilakukan, karena banyak anak usia
dini bertanya tentang makanan tradisional yang dijumpainya, berbeda dengan PAUD
di desa, jarang diberikan karena dianggap hal biasa. Padahal jangan
menganggap enteng hal sepele, walaupun di rumahnya sudah terbiasa membuat
combro, cincau, belum tentu orang tuanya memperkenalkannya. Selain itu, salah
satu contoh belajar membuat combro atau cincau bukan menjadikan anak setalah tamat
PAUD jadi pengrajin, tetapi untuk pencapaian ketuhaan, fisik motorik, kognitif,
dan sosial emosional. Jadi, cara membuat combro atau cincau hanya salah satu
bentuk pendekatan pemebelajaran berbasis kearifan lokal, singkau dan daun
cingcau hanya media dalam pemebelajaran fisik motorik, kognitif, sosial
emosional, dan bahasa karena dalam pembelajaran bahasa anak harus menceritakan
kembali bagaimana membuat combro. Itu hanya contoh saja, masih banyak kearifan
lokal yang layak diajarkan kepada anak usia dini dengan tidak membahayakan
fisiknya.
Pembelajaran Motorik Kasar dengan Permaianan Tradisional
Kearifan
lokal yang harus diberikan kepada anak usia dini dengan merujuk kepada
kurikulum yang berlaku yaitu permainan tradisional. Permainan tradisional yang
cocok untuk anak usia dini, di antaranya sepdur
dan oray-orayan, sodah, congklak atau dakon, ucing sumput atau petak umpet, parepet jengkol, hompimpah,
dan sapintrong. Permaianan
tradisional ini bisa digunakan untuk pembelajaran motorik kasar dan halus,
sosial emosional, dan kognitif.
Misalnya dalam permainan sepdur dan oray-orayan,
selain anak belajar motorik kasar dan sosial emosional juga belajar bahasa
Sunda atau bahasa ibunya. Oray-orayan/ Luar leor ka sawah/ Entong kasawah/ Parena keur sedeng beukah/ Oray-orayan/
Luar leor ka kebon/ Entong ka kebon/ Di kebon loba nu ngangon/ Mending ka
leuwi/ Di leuwi loba nu mandi/ Saha anu mandi?/ Anu mandina pandeuri......Maka guru PAUD bisa bertanya: saha nu terang oray? Saha nu pernah ka
sawah? Leres teu sawah sok dipelakan pare? Atau bertanya: saha nu terang hartosna kebon? Terang teu budak angon?... Anak belajar
mengenal kosa kata bahasa Sunda, sebab anak usia dini tidak dituntut mahir
menggunakan bahasa Sunda, tetapi cukup memahami bahasa Sunda dan mampu
menerapkannnya dalam pergaulan sehari-hari.
Masih banyak
Selain permaianan oray-orayan, contoh lain yang bisa
dikembangkan di PAUD yaitu sondah.
Permainan sondah mengajari anak melompat dengan menggunakan satu kaki, dan
meloncat dengan menggunakan dua kaki. Anak bisa membedakan lokomotor dan
nonlokomor. Guru PAUD tidak perlu mengajari anak pandai bermain sondah, sebab
sondah hanya media pembelajaran saja. Bisa digunakan untuk pembelajaran motorik
kasar, bisa digunakan pembelajaran mengenal warna, artinya kotak-kotak sondah
diberi warna dan anak disuruh menyebutkan warna sambil melompat. Bisa juga
mengenal lambang bilangan, setiap kotak ditulisi angka, dan anak menghitungnya
sambil melompat. Bisa dipakai membaca permulaan, mereka menyebutkan huruf
konsonan atau vokal yang dituliskan di kotak sondah tersebut. Dan dengan permainan
sondah itu anak pun belajar mengenal ruang gemometri. Mengenal garis yang akan
membuatnya dikeluarkan dari permainan apabila kakinya mengijak garis atau
keluar garis.
Guru-guru PAUD memang harus berkreativitas untuk
mengembangkan kurikulum PAUD berbasis kearifan lokal, sebab kurikulum PAUD
banyak celah untuk dikolaborasikan dengan nilai-nilai tradisional. Lebih dari
seratus lagu berbahas Sunda yang biasa dipakai oleh guru PAUD untuk berbaris,
berdoa, mengenal hari, menghitung jari, mengenal nabi, belajar rukun Islam,
rukun iman, mengenal bilangan, menyebutkan nama pohon, buah-buahan,
bagian-bagian rumah, dan lain-lain. Artinya, begitu kaya budaya Sunda yang bisa
dijadikan bahan pembelajaran pada anak usia dini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar