Minggu, 15 September 2019

Kurikulum PAUD dan Kearifan Lokal yang Terlupakan

Oleh
Dr. Usman Supendi. M.Pd.

PENDIDIKAN anak usia dini di kota-kota besar  bagaikan cendawan di musim hujan, menjamur di mana-mana.  PAUD atau TK berdiri bermunculan dari fasilitas pas-pasan, hanya menggunakan ruangan kosong saja, hingga bangunan sekolah yang supermegah dengan biaya hampir menyamai masuk perguruan tinggi. Bagi masyarakat perkotaan PAUD atau TK bukan sekadar lembaga edukatif, tetapi menjadi simbol kekayaan, kemakmuran, dan prestise bagi ayah bundanya. Orang tua dari kalangan menengah ke atas memasukan anak-anaknya ke PAUD atau TK favorit dengan  fasilitas lengkap, kelas yang luas, alat bermainnya termodern, dan pulang serta datang diantar jemput. Bahkan mereka memasukan anaknya  dari usia dua atau tiga tahun ke day care, untuk membantu anaknya dalam urusan bermain serta pengasuhan. Ciri-ciri PAUD atau TK favorit terlihat ketika jam pulang, halaman sekolah yang luas dipadati oleh mobil-mobil mewah, lalu-lalang sopir-sopir necis, dan kesibukan satpam serta tukang parkir.
Berbanding terbalik dengan PAUD atau TK di desa-desa, begitu jam pulang tiba hanya diwarnai raungan motor atau canda tawa ibu-ibunya yang menjemput anak-anaknya pulang. PAUD di desa lebih banyak tumbuh dari tangan para kader Posyandu, mereka membina balita dari urusan gizi hingga tempatnya bermain dan belajar. Dari Posyandu kemudian muncullah Pos PAUD, sekolahnya dari hari Senin sampai Kamis. Ibu-ibu di desa belum begitu paham pentingnya PAUD, mereka menyekolahkan anak sekadar mengikuti instruksi para kader penggerak Posyandu. Para kader mewajibkan menyekolahkan anak balita ke PAUD, maka berbondong-bondong anak-anakanya dimasukan ke PAUD. Biasanya anak-anak bermain di halaman rumah beralih bermain di halaman sekolah, main ayunan, prosotan, atau main petak umpet. Masalahnya, apakah mereka sudah disentuh dengan kurukulum 2013 untuk PAUD yang sesuai dengan Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan (STPP)?
Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan PAUD dalam kurikulum 2013  ini dimulai dengan nilai-nilai agama dan moral. Nilai agama dan moral yang harus diberikan kepada anak usia dini melalui pembelajaran berdoa, belajar beribadah, menghormati agama orang lain, dan tolong menolong sesama umat beragama. Nilai-nilai ini harus ditanamkan sejak usia dini supaya membentuk karakter anak yang baik dan menjadi pembiasaan dalam hidupnya. Pembiasaan mengucapkan doa, beribahat, dan toleransi antar sesama umat beragama.
Pencapaian pembelajaran yang berorientasi pada Fisik - motorik anak usia dini harus diprioritaskan,  sebab anak usia dini masih belajar menggunakan anggota tubuhnya untuk keseimbangan gerak  tubuh serta memfungsikannya. Motorik halus dan motorik kasar pada anak usia dini harus dilatih agar lebih baik dan terarah. Misalnya melatih motorik halus dengan menggambar, mewarnai, melipat, mengosok gigi, menjumput, kolase, mozaik, puzzle, meronce atau menempel. Motorik kasar dilatih dengan senam, menari, melompat atau meloncat, dan olah raga. Tentu saja perkembangan motorik halus dan kasar antara anak usia dini yang tinggal desa dan yang tinggal di kota akan berbeda. Anak-anak yang tumbuh di desa-desa sudah terbiasa dengan memanjat, meloncat, dan molompat.
Pencapaian kemampuan kognitif anak usia dini pun harus dilatih, agar mereka mampu memecahkan masalah, berpikiran tentang kehidup mereka sehari-hari, mampu mengenal bilangan supaya bisa berhitung, mampu mengenal huruf supaya bisa menulis namanya sendiri, dan  mengenal bangun geometri agar memiliki kesadaran ruang. Selain itu anak usia dini pun harus mampu menguasai bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi antar mereka; menyampaikan perasaan, gagasan sederhana, diskusi sederhana, mampu berkomunikasi dengan keluarganya, guru-gurunya, dan masyarakat sekitarnyaa. Perolehan bahasa anak usia dini biasanya melalui npembelajaran  bercerita, mendongeng, komunikasi secara lisan antara teman dan gurunnya, serta belajar menceritakan kembali apa-apa yang didengarnya atau dipelajarinya setelah belajar sambil bermain yang edukatif.
Pencapaian sosial dan emosional anak usia dini merupakan tujuan kurikulum PAUD, agar anak memiliki kesadaran diri, rasa tanggung jawab untuk dirinya sendiri dan orang lain, dan memiliki perilaku prososioal.  Kesadaran diri yang dimaksud yaitu anak usia dini harus memperlihatkan kemampuan dirinya, mengenal perasaa sendiri dan mengendalikan perasaannya, serta mampu menyesuaikan diri dengan orang lain serta lingkungannya. Anak usia dini wajib memiliki rasa tanggung jawab untuk dirinya sendiri dan orang lain. Anak usia dini harus mengetahui hak-haknya, mentaati peraturan, mengatur diri sendiri, serta bertanggung jawab atas perilaku untuk kebaikan sesama.  Pembelajaran perilaku prososial pada anak usia dini bertujuan agar anak mempu bermain dengan sebayanya, memahami perasaan, merespon, berbagi, serta menghargai hak dan pendapat orang lain. Dalam pembelajaran ini anak dituntut memiliki sikap toleransi dan berperilaku sopan.
Pencaiaan terakhir dalam kurikulum 2013, yaitu pembelajaran seni. Anak usia dini harus memiliki perasaan indah dan keindahan, agar memiliki karakter halus dan berbudaya. Anak usia dini sedcara sederhana harus mampu bermain musik, sosiodrama, melukis, menari, dan menggambar.   

Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal
Tiga tahun yang lewat di Universal Hotel Lembang, seorang ahli PAUD dari New Zeland mengkritik kurikulum PAUD di Indonesia, mestinya kurikulum PAUD di Indonesia lebih berpihak kepada kearifan lokal Indonesia. Diskusi itu diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidian dengan tujuan untuk memperkaya kurikulum dan pembelajaranya di PAUD. Dua orang ahli PAUD dari New Zeland itu bercerita, bahwa di negaranya kurikulum itu benar-benar harus berbasis kearifan lokal, salah satunya kearifan masyarakat tani. Guru-guru PAUD memperkenalkan cara-cara bertani apel; menanam, memelihara, dan mengolah apel dengan cara sederhana atau sesuai dengan perekembangan anak usia dini. Guru-giru PAUD menjadikan anak uisa dini sebagai little farmer. New Zeland benar-benar harus memiliki penerus petani apel, sebab negaranya banyak diuntungkan oleh apel. Apel New Zeland bisa menguasai dunia, sehingga apel bisa dijadikan sumber devisa negara, dan itu harus berkesinambungan. Anak usia dini dibentuk karakternya agar memiliki mental petani, paling tidak harus bercita-cita menjadi petani.
Kenyataan itu berbanding terbalik dengan anak usia dini di Indoneisa, dari Sabang sampai Merauke bisa dihitung dengan jari anak usia dini bercita-cita jadi petani. Ketika mereka ditanya apa cita-citanya, jarang yang bercita-cita petani. Ketika mereka disuruh menempelkan gambar di pohon harapan, mereka akan menempel gambar polisi, dokter, presiden, pilot, tentara, dan guru. Gambar petani sedang membawa cangkul jarang diambilnya, mungkin hanya satu dua orang saja. Padahal negara kita negara agraris, nenek moyangnya selain seorang pelaut, tentu saja seorang petani. Melihat kenyataan tersebut tentu saja ada yang salah dalam penerapan kurikulum PAUD atau cara mengembangkan kurikulum PAUD, sebab kurikulum PAUD yang sekarang diberlakukan sangat ideal. Tema pembelajaran dalam kurikulum 2013 di PAUD, yaitu diriku, keluargaku, lingkunganku, binatang, tanaman, kendaraan, alam semesta,  dan negaraku. Tema-tema tersebut tentu saja sudah sangat ideal untuk dijadikan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Misalnya tema lingkungan, binatang, tanaman, dan alam semesta, kenapa dalam pembelajaran saintifiknya tidak berbasis kearifan lokal? Dalam pembelajarannya tidak mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia atau mengangkat nilai-nilai tradisional?
Prof. Yus Rusyana ahli budaya Sunda yang juga pengajar Bahasa Daerah AUD di PG PAUD Uninus selalu mengajari calon guru PAUD untuk memanfaatkan kurikulum PAUD sebagai senjata untuk mengembangkan kearifan lokal. Tema lingkungku, binatang, tanaman dan alam semesta dimanfaatkan untuk memperkenalkan kesuburan dan keindahan alam Jawa Barat, dengan cara mengajak anak usia dini outbond di sawah. Anak usia dini dalam pembelajaran origami, menurut Prof. Yus sebaiknya origami kepada kebiasaan orangtuanya membuat ketupat, lontong, mincuk makanan, membuat bangun geometri kerucut untuk menutup nasi tumpeng dari daun pisang, dan membuat nasi timbel dari daun pisang.  Pembelajaran seperti itu pun akan meningkatkan motorik halus anak usia dini. Misalnya tema tanamanku, subtema mengenal tanaman cincau, anak-anak diajak memeras cincau atau membuat cincau.  Selain memperkenalkan tanaman cincau, anak-anak pun belajar motorik halus sebab harus meremas daun dan memerasnya. Selama proses pembelajaran, anak-anak diajak mendengarkan cerita tentang daun cincau, cara menanamnya, cara merawatnya, dan manfaatnya.
Memang tidak ada porsi khusus kurikulum muatan lokal, tetapi guru PAUD harus pintar-pintar mengembangkan kurikulum yang ada dan sangat idel tersebut. Kurikulum PAUD sangat berbasis saitifik, sedangkan kearifan lokal sangat saintifik untuk anak usia dini. Seperti membuat cincau itu sangat saintifik, sebab bagaimana mengolah daun menjadi cair, dari cairan, lantas diolah menjadi benda padat.
Banyak memang kearifan lokal yang bisa dikembangkan oleh guru-guru PAUD dengan tujuan tidak menjadikan anak usia dini menjadi pengrajin, tetapi hanya memperkenalkan saja bentuk-bentuk kearifan lokal leluhurnya. Sebab tujuan utamanya dalam kurikulum PAUD tetap pada ketuhanan, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni. Misalnya memperkenalkan makanan combro pada anak usia dini, guru tidak perlu membawa parutankarena berbahaya, cukup membawa ketela pohon yang sudah diparut. Temanya tanaman, subtema ketela pohon atau singkong. Pada pembelajaran ini fisik motoriknya yaitu motorik halus; memeras parutan ketela pohon agar kanji atau aci terpisah dari singkong, membetuk bola dari singkong, dan belajar menyadari ruang di dalam bulatan singkong. Kognitifnya, anak-anak mengetahui bahwa aci atau kanji itu salah satunya dari singkong, dan ubi jalar itu bahan dari makanan bernama combro yang selalu dimakan oleh mereka. Mereka pun berjar bersosial; kebersamaan, saling membatu atau gotong royong. Setelah belajar membuat combro, diharapkan anak usia dini tidak terampil membuat combro tetapi hanya mengenal saja. Hasil dari pembelajaran itu diharapkan beberapa tahun ke depan setalah anak usia dini masuk ke  SMA atau perguruan tinggi. Biasanya di PAUD perkotaan pembelajaran ini sering dilakukan, karena banyak anak usia dini bertanya tentang makanan tradisional yang dijumpainya, berbeda dengan PAUD di desa, jarang diberikan karena dianggap hal biasa. Padahal jangan menganggap enteng hal sepele, walaupun di rumahnya sudah terbiasa membuat combro, cincau, belum tentu orang tuanya memperkenalkannya. Selain itu, salah satu contoh belajar membuat combro atau cincau bukan menjadikan anak setalah tamat PAUD jadi pengrajin, tetapi untuk pencapaian ketuhaan, fisik motorik, kognitif, dan sosial emosional. Jadi, cara membuat combro atau cincau hanya salah satu bentuk pendekatan pemebelajaran berbasis kearifan lokal, singkau dan daun cingcau hanya media dalam pemebelajaran fisik motorik, kognitif, sosial emosional, dan bahasa karena dalam pembelajaran bahasa anak harus menceritakan kembali bagaimana membuat combro. Itu hanya contoh saja, masih banyak kearifan lokal yang layak diajarkan kepada anak usia dini dengan tidak membahayakan fisiknya.

Pembelajaran Motorik Kasar dengan Permaianan Tradisional
Kearifan lokal yang harus diberikan kepada anak usia dini dengan merujuk kepada kurikulum yang berlaku yaitu permainan tradisional. Permainan tradisional yang cocok untuk anak usia dini, di antaranya sepdur dan oray-orayan, sodah, congklak atau dakon, ucing sumput atau petak umpet, parepet jengkol, hompimpah, dan sapintrong. Permaianan tradisional ini bisa digunakan untuk pembelajaran motorik kasar dan halus, sosial emosional, dan kognitif.
Misalnya dalam permainan sepdur dan oray-orayan, selain anak belajar motorik kasar dan sosial emosional juga belajar bahasa Sunda atau bahasa ibunya. Oray-orayan/ Luar leor ka sawah/ Entong kasawah/ Parena keur sedeng beukah/ Oray-orayan/ Luar leor ka kebon/ Entong ka kebon/ Di kebon loba nu ngangon/ Mending ka leuwi/ Di leuwi loba nu mandi/ Saha anu mandi?/ Anu mandina pandeuri......Maka guru PAUD bisa bertanya: saha nu terang oray? Saha nu pernah ka sawah? Leres teu sawah sok dipelakan pare? Atau bertanya: saha nu terang hartosna kebon? Terang teu budak angon?... Anak belajar mengenal kosa kata bahasa Sunda, sebab anak usia dini tidak dituntut mahir menggunakan bahasa Sunda, tetapi cukup memahami bahasa Sunda dan mampu menerapkannnya dalam pergaulan sehari-hari.
Masih banyak
Selain permaianan oray-orayan, contoh lain yang bisa dikembangkan di PAUD yaitu sondah. Permainan sondah mengajari anak melompat dengan menggunakan satu kaki, dan meloncat dengan menggunakan dua kaki. Anak bisa membedakan lokomotor dan nonlokomor. Guru PAUD tidak perlu mengajari anak pandai bermain sondah, sebab sondah hanya media pembelajaran saja. Bisa digunakan untuk pembelajaran motorik kasar, bisa digunakan pembelajaran mengenal warna, artinya kotak-kotak sondah diberi warna dan anak disuruh menyebutkan warna sambil melompat. Bisa juga mengenal lambang bilangan, setiap kotak ditulisi angka, dan anak menghitungnya sambil melompat. Bisa dipakai membaca permulaan, mereka menyebutkan huruf konsonan atau vokal yang dituliskan di kotak sondah tersebut. Dan dengan permainan sondah itu anak pun belajar mengenal ruang gemometri. Mengenal garis yang akan membuatnya dikeluarkan dari permainan apabila kakinya mengijak garis atau keluar garis.
Guru-guru PAUD memang harus berkreativitas untuk mengembangkan kurikulum PAUD berbasis kearifan lokal, sebab kurikulum PAUD banyak celah untuk dikolaborasikan dengan nilai-nilai tradisional. Lebih dari seratus lagu berbahas Sunda yang biasa dipakai oleh guru PAUD untuk berbaris, berdoa, mengenal hari, menghitung jari, mengenal nabi, belajar rukun Islam, rukun iman, mengenal bilangan, menyebutkan nama pohon, buah-buahan, bagian-bagian rumah, dan lain-lain. Artinya, begitu kaya budaya Sunda yang bisa dijadikan bahan pembelajaran pada anak usia dini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTMODERNISM: THE ENLIGHTENMENT PROJECT

Oleh Dr. Usman Supendi Pendahuluan             Menu utama dalam tiga artikel yang berisi cultur studies   yang dibaca penulis adalah...