Dr. Usman Supendi, M.Pd.
Lonceng berbunyi baris di halaman
Bersiap kaki rapat pegang pundak teman
Tangan ke atas, lalu direntang,
Sekarang di bahu, ke muka, di pinggang
Lompat yang tinggi, satu… dua… tiga
Lalu meniru burung terbang di udara
………….
Lagu itu seolah lagu wajib yang harus dinyanyikan
anak-anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ketika hendak masuk kelas, nampak
ceria, gembira, dan penuh semangat. Mereka, anak-anak usia dini kelompok
bermain (4-5 tahun) dan kelompok formal (5-6 tahun), tidak akan tahu di balik
dunianya yang ceria - belajar sambil bermin, ternyata menyimpan banyak
masalah. Memang dunia anak-anak ceria
itu, begitu banyak dilirik dan diperhatikan oleh lembaga pemerintahan dari
tingkat pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi, hingga oleh pusat melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan (Dirjen GTK), Kemendiknas karena mereka golden age. Bahkan Kemenristek Dikti pun sangat serius menangani
dosen-dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini untuk menjadi tenaga
penididik di universitas agar lebih profesional. Selain itu ada juga Unicef dan
USAID yang ada di wilayah lebih mendunia ikut pula menangani masalah PAUD.
Tetapi, masalah PAUD sampai saat ini belum terselesaikan. Ibarat ucapan klise,
bagai benang kusut yang sulit diurai untuk direntangkan.Tetapi, sekusut apapun
benang kusut PAUD itu harus terus diurai.
Permasalah dunia pendidikan mereka tentunya tidak
perlu terbawa ke dalam kelas yang penuh warna, semarak gambar-gambar, dan riuh
dengan nyanyian serta terpuk tangan. Cukuplah beban masalah itu guru-gurunya
saja yang memikulnya dan menjalaninya. Walaupun mereka meraskan cukup berat dan
hampir putus asa untuk memikulnya, bahkan jauh di lubuk hati guru-guru PAUD
merasa suasana ketidakadilan. Seperti yang dilami oleh Euis (40) dari daerah
Pangalengan, ia harus berjalan lebih dari dua kilo meter dari rumahnya ke
lokasi PAUD/TK milik yayasan sahabatnya untuk menjalani rutinitasnya sebagai
guru. Gajinya tidak lebih dari dua ratus
ribu rupiah, ditambah tunjangan profesi dari pemetintah, jatuhnya tidak lebih
dari enam ratus ribu rupiah. Untuk biaya rumah tangga tentu saja tidak cukup,
kalau saja suaminya tidak bekerja
sebagai guru SD, tentu saja tidak akan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkangkan
untuk mencapai kehidupannya agak sejahtera sebagai guru PAUD, Euis yang hanya
lulusan SMA harus berjuang lagi kuliah di jurusan PG PAUD agar ijazah
sarjananya menjadi tiket untuk meraih Nomor Unik Penidik dan Tenaga
Kependidikan (NUPTK). Tanpa NUPTK semua
guru PAUD sampai SMA tidak akan bisa tersertifikasi, karena sertifikasilah
satu-satunya harapan hidup lebih sejahtera bagi guru-guru PAUD.
Nasib Euis dari Pangalengan lebih baik dibanding Titin (30) dari Sumedang, ia hanya mendapatkan
uang seratus ribu perbulan, dan tanpa harapan untuk disertifikasi karena
dirinya mengajar di Pos PAUD yang dikelola oleh pemerintah desa setempat.
Pengajar di Pos PAUD posisinya hanya sebagai tutorial. Pos PAUD lebih cenderung
ada di wilayah kelompok bermain (kober) atau mereka menyebutnya kelompok A,
kelompok non foramal, di bawah PAUD Dikmas, walaupun payungnya tetap Dirjen
GTK. Nasib Titin sama persis dengan Lisa dari Purwakarta yang mengajar di
Raudhatul Athfal (RA), hanya menggantungkan dedikasi dan harapan saja sebagai
tenaga pengajar anak-anak usia dini. Lisa yang sehari-hari mengajar di RA hanya
mendapatkan uang seratus ribu dari honor, ditambah tunjangan, dijumlah tidak
lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Berbeda dengan PAUD, RA ada di bawah payung
Kementerian Agama (Kemenag). Permasalahannya sama, untuk meraih tiket
mendapatakan NUPTK sebagai syarat sertifikasi harus kuliah dulu ke PGRA atau ke
PG PAUD.
Sebenarnya, bagi yang mengajar di Pos PAUD tidak perlu
sarjana PAUD, karena posisinya hanya sebagai tutorial. Tetapi yang mengajar di
Pos PAUD sulit untuk meraih NUPTK dan sertifikasi, kecuali kalau pindah ke PAUD
formal yang dikelo oleh yayasan. Paling tidak bagi tutorial PAUD harus memiliki
kompetensi sebagai tutor atau pendidik, minimal pernah mengikuti pelatihan
dasar, lanjutan, dan mahir. Kenyataan ini membingungkan pendidik PAUD, terlebih
bagi masyarakat. Apa bedanya pos PAUD dengan PAUD-PAUD yang dikelola oleh
yayasan atau perorangan? Ape bedanya PAUD dengan Taman Kanak-Kanak (TK)? Dan
apa bedanya PAUD formal dan non formal?
Permasalah itu menurut Dr. Agung Prasetyo dari
Universitas PGRI Semarang selalu muncul di masyarakat. Masyarakat masih belum
memahami antar PAUD dan TK, antara Pos PAUD yang dikelola oleh pemerintah desa
setempat dengan PAUD formal yang dikelola oleh yayasan. Sehingga muncul istilah
PAUD nonformal dan PAUD formal, sebab PAUD nonformal dibawah naungan Pendidikan
Non-Formal (PNF) sedangkan PAUD formal ada dibawah Diknas seutuhnya.
“Selain masalah itu juga pemisahan antara PAUD dan TK
belum jelas. Padahal dalam peraturan sudah tidak ada lagi taman kanak-kanak,
yang ada pendidikan anak usia dini atau kita istilahkan PAUD. TK digolongkan ke
PAUD formal usia 5-6 tahun. Kenyataanya tidak
begitu, sebab ada dua organisasi Himpaudi yang menaungi PAUD dan IGTK
yang menaungi TK! Di lapangan kan hanya ada PAUD formal dan non formal,” ujarnya dalam sebuah pertemuan di Bali waktu
merumuskan pedoman rintisan wajib PAUD. Tetapi rintisan wajib yang dibuat
bersama-sama antra praktisi, akademisi, dan birokrat menguap begitu saja, tidak
jelas kabar beritanya. Padahal di dalam pedoman ajuan rintisan wajib PAUD itu
terdapat ajuan kesejahteraan guru-guru PAUD dan alur karier guru-guru PAUD.
Sangat ideal memang rencana program rintisan wajib
PAUD yang dikomandani oleh Dedi Wahyudi, S.H. karena di dalamnya memuat tentang
kesejahteraan guru-guru PAUD, di antaranya harus ada PAUD binaan atau
percontohan di setiap kecamatan yang berstatus negeri dengan guru-gurunya PNS.
Dedi Wahyu, S.H. pemilik PAUD Pelopor di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung
ini, sangat gigih memperjuangkan kesejahteraan guru-guru PAUD dan peningkatan
kualitas anak usia dini, dirinya sebagai konsultan ditunjuk untuk membuat
terobosan program rintisan wajib PAUD.
Selain itu usulannya, bagi guru PAUD yang sudah lama dan berpengalaman,
wajib diberikan insentif sesuai dengan masa kerjanya dan percepatan sertifikasi
bagi yang sudah menyelesaikan kuliah. Bagi guru-guru PAUD usia muda supaya
memiliki peluang menjadi PNS. Peluang jadi PNS memang agak berat, sebab
undang-undang dan peraturan lama masih menyebutkan yang berhak diangkat PNS di
PAUD hanya lulusan PGTK. Padahal sekarang PGTK sudah berubah menjadi PG PAUD.
Tentu saja hal itu membuat gembira para akademisi,
kata I Putu Sewika, M.Si. Kaprodi PG PAUD dari Universitas Tadulako, Palu,
menyambut akan rintisan wajib PAUD. “Pemerintah harus begitu, sebab mereka
tidak tahu di lapangan, betapa menderitanya guru-guru PAUD. Padahal tugas mulia
tak terhitung besarnya, meninggalkan keluarga untuk mengajar, dalam keadaan
sakit pun masih memikirkan anak didiknya. Tetapi, berapa gaji yang mereka
terima? Untuk makan seminggu pun belum tentu cukup. Kasihan mereka, hanya
berdedikasi saja! Padahal dedikasi itu harus diimbangi oleh pendapatan pula,”
ujar I Putu Sewika, M.Si waktu penyusunan dua tahun yang lewat, tepatnya di
Hotel Sanur, di daerah Sanur, Bali.
Masalah kesejahteraan dan wajib sarjana bagi guru-guru
PAUD selalu bergulir di setiap raker dengan Dirjen GTK ketika pembahasan masuk
ke wilayah itu. Waktu rapat kerja mengenai bantuan penyelesaian pendidikan
untuk guru-guru PAUD, Prof. Dr. Hj. Rakimahwati Kepala Prodi PG PAUD di
Universitas Negeri Padang, menegaskan uang bantuan 3,5 juta dinilai kurang.
Mestinya ada beasiswa khusus, sebab dirinya pernah merasakan jadi guru PAUD.
Prof. Rakimahwati sebelum jadi dosen ia memulai karir jadi guru Taman
Kanak-Kanak. Karena keinginan yang kuat ingin memperbaiki nasibnya ia
melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi, dan akhirnya ia diangkat
jadi dosen. Hingga dirinya meraih puncak prestasi akademik menjadi Guru Besar
di Universitas Negeri Padang.
“Tapi kan tidak semua bernasib seperti saya, masih
banyak guru PAUD di daerah-daerah yang
nasibnya masih terkatung-katung. Untuk mendapatkan jatah sertifikasi saja
susah, karena belum sarjana. Padahal keinginan kuliah sangat kuat, tetapi
kendala mereka sama tidak punya biaya. Gaji antara lima puluh ribu, dua ratus
ribu, paling besar enam ratus ribu mana cukup untuk biaya kuliah. Kalau pun
mereka memaksakan diri berkuliah, meraka merasa kerepotan. Untuk mencapai
kampus harus menghabiskan waktu tempuh yang luar biasa, menghabiskan waktu
hampir seharian. Kasihan memang, tapi mau diapakan, toh Kemenristek Dikti melarang kuliah jarak jauh atau membuka kelas
jauh dilarang sekali. Kalau ada yang berhenti atau menyerah di tengah jalan,
kami pihak kampus tidak akan menyalahkan mahasiswa, memang kami harus arif akan
kenyataan yang di hadapi mereka. Ya itu tadi kenyataannya, lokasinya jauh,
biayanya pas-pasan, pekerjaan mereka banyak, ditambah urusan keluarga mereka
juga. Maka wajar mereka diberikan beasiswa, bukan sekadar biaya penyelasaian,”
ujar Prof. Dr. Hj. Rakinahwati waktu
Raker dengan Dirjen GTK di Amarossa Hotel di Bogor setahun yang lewat. Tetapi
karena dana terbatas, maka Dirjen GTK hanya membetikan bantuan penyelesaian
saja. Itu pun diberikan kepada universitas yang sudah terakreditasi minimal B.
Di Jawa Barat guru-guru PAUD yang mendapat
bantuan penyelesaian kuliah hanya UT, UPI, Uninus, Unsil dan Unsika. Bantuan
diberikan kepada mahasiswa PAUD dan PLS, mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah
diharapkan akan menjadi tutor di Pos PAUD.
Di Jawa Barat pun sama memiliki masalah, selain
masalah kesejahteraan, juga sumber daya manusia pengelola dan pendidik PAUD.
Kenyataan ini pernah dihadapi oleh Universitas Islam Nusantara, ketika pertama
kali diberi kepercayaan untuk melaksanakan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru
(PLPG) sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi pendidik para guru PAUD dengan
penyelenggaranya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Uninus menjadi
sub rayon 148 di bawah rayon 110 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Waktu itu Uninus mendapat peserta PLPG
dari daerah Kuningan, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Cimahi. Ternyata begitu
pelaksanaan PLPG, ada peserta yang sudah ketigakalinya mengkuti PLPG, ada yang
masuk keduakalinya, karena PLPG sebelumnya tidak lulus. Mereka membawa harapan
PLPG kali ini bisa lolos, bisa meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik dan
tersertifikasi. Sebab ketika mendapatkan sertifikat pendidik maka akan
mendapatkan sertifikasi guru, pundi rupiah akan bertambah dari uang sertifikasi
guru. Masalah lain, ada yang tidak bisa mengoperasikan komputer atau laptop,
padahal mereka kelak akan melaksanakan ujian nasional di akhir PLPG dengan
sistem during atau on line. Masalah manajemen pembelajaran pun banyak dialami
peserta PLPG, mereka banyak yang kebingungan mengembangkan kurikulum menjadi Rencana
Pelaksanaan Program Mingguan (RPPM) dan kemudian diubah menjadi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Harian (RPPH). Para tutor di Uninus tentu saja bekerja
ekstra, sebab selain harus menggali lagi kemampuan membuat RPPH, juga mereka
harus mampu membuat media pembelajaran atau alat peraga edukatif (APE) dalam
waktu singkat.
“Kami bekerja
sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu atau kualitas guru-guru PAUD setelah
melaksanakan PLPG di lembaga kami. Setelah menjadi alumni PLPG dari Uninus
mereka harus menjadi pelopor, terdepan, dan menjadi motivator sejawat dalam
melaksanakan pembelajaran. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari arahan UPI
sebagai rayon, sebab kami sub rayon di bawah UPI,” ujar Dr. H. Hendi S. Muchtar,
M.Pd. sebagai pelaksana harian PLPG di Uninus. Waktu itu guru-guru PAUD yang
mengikuti PLPG di Uninus sebanyak 192 orang. (Usman Supendi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar