Minggu, 15 September 2019

PAUD Benang Kusut yang Harus Terus Diurai

Oleh
Dr. Usman Supendi, M.Pd.


Lonceng berbunyi baris di halaman
Bersiap kaki rapat pegang pundak teman
Tangan ke atas, lalu direntang,
Sekarang di bahu, ke muka, di pinggang
Lompat yang tinggi, satu… dua… tiga
Lalu meniru burung terbang di udara
………….

Lagu itu seolah lagu wajib yang harus dinyanyikan anak-anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ketika hendak masuk kelas, nampak ceria, gembira, dan penuh semangat. Mereka, anak-anak usia dini kelompok bermain (4-5 tahun) dan kelompok formal (5-6 tahun), tidak akan tahu di balik dunianya yang ceria - belajar sambil bermin, ternyata menyimpan banyak masalah.  Memang dunia anak-anak ceria itu, begitu banyak dilirik dan diperhatikan oleh lembaga pemerintahan dari tingkat pemerintahan desa, kecamatan,  kabupaten, provinsi, hingga oleh pusat melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK), Kemendiknas karena mereka golden age. Bahkan Kemenristek Dikti pun sangat serius menangani dosen-dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini untuk menjadi tenaga penididik di universitas agar lebih profesional. Selain itu ada juga Unicef dan USAID yang ada di wilayah lebih mendunia ikut pula menangani masalah PAUD. Tetapi, masalah PAUD sampai saat ini belum terselesaikan. Ibarat ucapan klise, bagai benang kusut yang sulit diurai untuk direntangkan.Tetapi, sekusut apapun benang kusut PAUD itu harus terus diurai.
Permasalah dunia pendidikan mereka tentunya tidak perlu terbawa ke dalam kelas yang penuh warna, semarak gambar-gambar, dan riuh dengan nyanyian serta terpuk tangan. Cukuplah beban masalah itu guru-gurunya saja yang memikulnya dan menjalaninya. Walaupun mereka meraskan cukup berat dan hampir putus asa untuk memikulnya, bahkan jauh di lubuk hati guru-guru PAUD merasa suasana ketidakadilan. Seperti yang dilami oleh Euis (40) dari daerah Pangalengan, ia harus berjalan lebih dari dua kilo meter dari rumahnya ke lokasi PAUD/TK milik yayasan sahabatnya untuk menjalani rutinitasnya sebagai guru.  Gajinya tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah, ditambah tunjangan profesi dari pemetintah, jatuhnya tidak lebih dari enam ratus ribu rupiah. Untuk biaya rumah tangga tentu saja tidak cukup, kalau saja suaminya  tidak bekerja sebagai guru SD, tentu saja tidak akan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkangkan untuk mencapai kehidupannya agak sejahtera sebagai guru PAUD, Euis yang hanya lulusan SMA harus berjuang lagi kuliah di jurusan PG PAUD agar ijazah sarjananya menjadi tiket untuk meraih Nomor Unik Penidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Tanpa NUPTK  semua guru PAUD sampai SMA tidak akan bisa tersertifikasi, karena sertifikasilah satu-satunya harapan hidup lebih sejahtera bagi guru-guru PAUD.
Nasib Euis dari Pangalengan lebih baik dibanding  Titin (30) dari Sumedang, ia hanya mendapatkan uang seratus ribu perbulan, dan tanpa harapan untuk disertifikasi karena dirinya mengajar di Pos PAUD yang dikelola oleh pemerintah desa setempat. Pengajar di Pos PAUD posisinya hanya sebagai tutorial. Pos PAUD lebih cenderung ada di wilayah kelompok bermain (kober) atau mereka menyebutnya kelompok A, kelompok non foramal, di bawah PAUD Dikmas, walaupun payungnya tetap Dirjen GTK. Nasib Titin sama persis dengan Lisa dari Purwakarta yang mengajar di Raudhatul Athfal (RA), hanya menggantungkan dedikasi dan harapan saja sebagai tenaga pengajar anak-anak usia dini. Lisa yang sehari-hari mengajar di RA hanya mendapatkan uang seratus ribu dari honor, ditambah tunjangan, dijumlah tidak lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Berbeda dengan PAUD, RA ada di bawah payung Kementerian Agama (Kemenag). Permasalahannya sama, untuk meraih tiket mendapatakan NUPTK sebagai syarat sertifikasi harus kuliah dulu ke PGRA atau ke PG PAUD.
Sebenarnya, bagi yang mengajar di Pos PAUD tidak perlu sarjana PAUD, karena posisinya hanya sebagai tutorial. Tetapi yang mengajar di Pos PAUD sulit untuk meraih NUPTK dan sertifikasi, kecuali kalau pindah ke PAUD formal yang dikelo oleh yayasan. Paling tidak bagi tutorial PAUD harus memiliki kompetensi sebagai tutor atau pendidik, minimal pernah mengikuti pelatihan dasar, lanjutan, dan mahir. Kenyataan ini membingungkan pendidik PAUD, terlebih bagi masyarakat. Apa bedanya pos PAUD dengan PAUD-PAUD yang dikelola oleh yayasan atau perorangan? Ape bedanya PAUD dengan Taman Kanak-Kanak (TK)? Dan apa bedanya PAUD formal dan non formal?
Permasalah itu menurut Dr. Agung Prasetyo dari Universitas PGRI Semarang selalu muncul di masyarakat. Masyarakat masih belum memahami antar PAUD dan TK, antara Pos PAUD yang dikelola oleh pemerintah desa setempat dengan PAUD formal yang dikelola oleh yayasan. Sehingga muncul istilah PAUD nonformal dan PAUD formal, sebab PAUD nonformal dibawah naungan Pendidikan Non-Formal (PNF) sedangkan PAUD formal ada dibawah Diknas seutuhnya.
“Selain masalah itu juga pemisahan antara PAUD dan TK belum jelas. Padahal dalam peraturan sudah tidak ada lagi taman kanak-kanak, yang ada pendidikan anak usia dini atau kita istilahkan PAUD. TK digolongkan ke PAUD formal usia 5-6 tahun. Kenyataanya tidak   begitu, sebab ada dua organisasi Himpaudi yang menaungi PAUD dan IGTK yang menaungi TK! Di lapangan kan hanya ada PAUD formal dan non formal,”  ujarnya dalam sebuah pertemuan di Bali waktu merumuskan pedoman rintisan wajib PAUD. Tetapi rintisan wajib yang dibuat bersama-sama antra praktisi, akademisi, dan birokrat menguap begitu saja, tidak jelas kabar beritanya. Padahal di dalam pedoman ajuan rintisan wajib PAUD itu terdapat ajuan kesejahteraan guru-guru PAUD dan alur karier guru-guru PAUD.
Sangat ideal memang rencana program rintisan wajib PAUD yang dikomandani oleh Dedi Wahyudi, S.H. karena di dalamnya memuat tentang kesejahteraan guru-guru PAUD, di antaranya harus ada PAUD binaan atau percontohan di setiap kecamatan yang berstatus negeri dengan guru-gurunya PNS. Dedi Wahyu, S.H. pemilik PAUD Pelopor di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung ini, sangat gigih memperjuangkan kesejahteraan guru-guru PAUD dan peningkatan kualitas anak usia dini, dirinya sebagai konsultan ditunjuk untuk membuat terobosan program rintisan wajib PAUD.  Selain itu usulannya, bagi guru PAUD yang sudah lama dan berpengalaman, wajib diberikan insentif sesuai dengan masa kerjanya dan percepatan sertifikasi bagi yang sudah menyelesaikan kuliah. Bagi guru-guru PAUD usia muda supaya memiliki peluang menjadi PNS. Peluang jadi PNS memang agak berat, sebab undang-undang dan peraturan lama masih menyebutkan yang berhak diangkat PNS di PAUD hanya lulusan PGTK. Padahal sekarang PGTK sudah berubah menjadi PG PAUD.
Tentu saja hal itu membuat gembira para akademisi, kata I Putu Sewika, M.Si. Kaprodi PG PAUD dari Universitas Tadulako, Palu, menyambut akan rintisan wajib PAUD. “Pemerintah harus begitu, sebab mereka tidak tahu di lapangan, betapa menderitanya guru-guru PAUD. Padahal tugas mulia tak terhitung besarnya, meninggalkan keluarga untuk mengajar, dalam keadaan sakit pun masih memikirkan anak didiknya. Tetapi, berapa gaji yang mereka terima? Untuk makan seminggu pun belum tentu cukup. Kasihan mereka, hanya berdedikasi saja! Padahal dedikasi itu harus diimbangi oleh pendapatan pula,” ujar I Putu Sewika, M.Si waktu penyusunan dua tahun yang lewat, tepatnya di Hotel Sanur, di daerah Sanur, Bali.
Masalah kesejahteraan dan wajib sarjana bagi guru-guru PAUD selalu bergulir di setiap raker dengan Dirjen GTK ketika pembahasan masuk ke wilayah itu. Waktu rapat kerja mengenai bantuan penyelesaian pendidikan untuk guru-guru PAUD, Prof. Dr. Hj. Rakimahwati Kepala Prodi PG PAUD di Universitas Negeri Padang, menegaskan uang bantuan 3,5 juta dinilai kurang. Mestinya ada beasiswa khusus, sebab dirinya pernah merasakan jadi guru PAUD. Prof. Rakimahwati sebelum jadi dosen ia memulai karir jadi guru Taman Kanak-Kanak. Karena keinginan yang kuat ingin memperbaiki nasibnya ia melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi, dan akhirnya ia diangkat jadi dosen. Hingga dirinya meraih puncak prestasi akademik menjadi Guru Besar di Universitas Negeri Padang.
“Tapi kan tidak semua bernasib seperti saya, masih banyak  guru PAUD di daerah-daerah yang nasibnya masih terkatung-katung. Untuk mendapatkan jatah sertifikasi saja susah, karena belum sarjana. Padahal keinginan kuliah sangat kuat, tetapi kendala mereka sama tidak punya biaya. Gaji antara lima puluh ribu, dua ratus ribu, paling besar enam ratus ribu mana cukup untuk biaya kuliah. Kalau pun mereka memaksakan diri berkuliah, meraka merasa kerepotan. Untuk mencapai kampus harus menghabiskan waktu tempuh yang luar biasa, menghabiskan waktu hampir seharian. Kasihan memang, tapi mau diapakan, toh Kemenristek Dikti melarang kuliah jarak jauh atau membuka kelas jauh dilarang sekali. Kalau ada yang berhenti atau menyerah di tengah jalan, kami pihak kampus tidak akan menyalahkan mahasiswa, memang kami harus arif akan kenyataan yang di hadapi mereka. Ya itu tadi kenyataannya, lokasinya jauh, biayanya pas-pasan, pekerjaan mereka banyak, ditambah urusan keluarga mereka juga. Maka wajar mereka diberikan beasiswa, bukan sekadar biaya penyelasaian,” ujar  Prof. Dr. Hj. Rakinahwati waktu Raker dengan Dirjen GTK di Amarossa Hotel di Bogor setahun yang lewat. Tetapi karena dana terbatas, maka Dirjen GTK hanya membetikan bantuan penyelesaian saja. Itu pun diberikan kepada universitas yang sudah terakreditasi minimal B. Di Jawa Barat guru-guru PAUD  yang mendapat bantuan penyelesaian kuliah hanya UT, UPI, Uninus, Unsil dan Unsika. Bantuan diberikan kepada mahasiswa PAUD dan PLS, mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah diharapkan akan menjadi tutor di Pos PAUD.
Di Jawa Barat pun sama memiliki masalah, selain masalah kesejahteraan, juga sumber daya manusia pengelola dan pendidik PAUD. Kenyataan ini pernah dihadapi oleh Universitas Islam Nusantara, ketika pertama kali diberi kepercayaan untuk melaksanakan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi pendidik para guru PAUD dengan penyelenggaranya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Uninus menjadi sub rayon 148 di bawah rayon 110 Universitas Pendidikan Indonesia  (UPI). Waktu itu Uninus mendapat peserta PLPG dari daerah Kuningan, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Cimahi. Ternyata begitu pelaksanaan PLPG, ada peserta yang sudah ketigakalinya mengkuti PLPG, ada yang masuk keduakalinya, karena PLPG sebelumnya tidak lulus. Mereka membawa harapan PLPG kali ini bisa lolos, bisa meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik dan tersertifikasi. Sebab ketika mendapatkan sertifikat pendidik maka akan mendapatkan sertifikasi guru, pundi rupiah akan bertambah dari uang sertifikasi guru. Masalah lain, ada yang tidak bisa mengoperasikan komputer atau laptop, padahal mereka kelak akan melaksanakan ujian nasional di akhir PLPG dengan sistem during atau on line. Masalah manajemen pembelajaran pun banyak dialami peserta PLPG, mereka banyak yang kebingungan mengembangkan kurikulum menjadi Rencana Pelaksanaan Program Mingguan (RPPM) dan kemudian diubah menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian (RPPH). Para tutor di Uninus tentu saja bekerja ekstra, sebab selain harus menggali lagi kemampuan membuat RPPH, juga mereka harus mampu membuat media pembelajaran atau alat peraga edukatif (APE) dalam waktu singkat.
“Kami bekerja sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu atau kualitas guru-guru PAUD setelah melaksanakan PLPG di lembaga kami. Setelah menjadi alumni PLPG dari Uninus mereka harus menjadi pelopor, terdepan, dan menjadi motivator sejawat dalam melaksanakan pembelajaran. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari arahan UPI sebagai rayon, sebab kami sub rayon di bawah UPI,” ujar Dr. H. Hendi S. Muchtar, M.Pd. sebagai pelaksana harian PLPG di Uninus. Waktu itu guru-guru PAUD yang mengikuti PLPG di Uninus sebanyak 192 orang. (Usman Supendi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTMODERNISM: THE ENLIGHTENMENT PROJECT

Oleh Dr. Usman Supendi Pendahuluan             Menu utama dalam tiga artikel yang berisi cultur studies   yang dibaca penulis adalah...